PERPAJAKAN DI INDONESIA PADA ERA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN SAAT INI


BAB I
LATAR BELAKANG

Sistem pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak bukan merupakan suatu pemungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja alam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan dan sebagainya.
Pajak merupakan hal yang tidak asing lagi ditelinga warga negara Indonesia, bahkan kata itu telah menjadi istilah baku dalam bahasa Indonesia. Istilah pajak sudah dikenal rakyat Indonesia sejak zaman dahulu tepatnya pada abad ke 19 di Pulau Jawa, yaitu pada saat Pulau Jawa dijajah oleh Pemerintahan Kolonial Inggris tahun 1811 – 1816. Pada waktu itu diadakan pungutan landrente yang diciptakan oleh Thomas Stafford Raffles, Letnan Gubernur yang diangkat oleh Lord Minto Gubernur Jenderal Inggris di India. Pada tahun 1813 dikeluarkanlahPeraturan Landrente Stelsel bahwa jumlah uang yang harus dibayar oleh pemilik tanah itu tiap tahunnya hampir sama besarnya. Namun, saat itu regulasi tentang pemungutan pajak masih sangat sederhana dibandingkan dengan saat ini.
Pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan negara yang menyumbang persentase terbesar dibandingkan dengan sektor – sektor pendapatan lainnya. Oleh karena itu, keberhasilan suatu negara dalam mengumpulkan pajak dari warga negaranya akan menimbulkan stabilitas ekonomi dari negara yang bersangkutan. Namun pada kenyataannya, warga negara yang melaksanakan kewajibannya sebagai Wajib Pajak masih kurang sehingga pemerintah selalu berperan aktif dalam pemungutan pajak tersebut melalui berbagai program atau rencana kerja.
Pajak dapat membantu pemerintah dalam membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara yang tidak hanya untuk pengeluaran yang bersifat jangka panjang, akan tetapi juga untukmembiayayi pengeluaran yang bersifat jangka pendek, dalam hal ini adalah pengeluaran-pengeluaran rutin negara, yang dimaksud dengan pengeluaran rutin adalah biaya-biaya yang setiap tahun dikeluarkan untuk memelihara kelangsungan hidup bangsa, seperti biaya pegawai negeri, belanja barang, penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, perbaikan sarana umum, dan lain-lain yang telah terancang dalam bentuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Pajak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi anggaran (budgeter) dan fungsi mengatur (regulerend). Fungsi anggaran (budgeter) dari pajak adalah memasukkan uang ke kas negara sebanyak - banyaknya untuk keperluan belanja negara. Dalam hal ini pajak lebih difungsikan sebagai alat untuk menarik dana dari masyarakat untuk dimasukkan ke dalam kas negara. Sementara itu, fungsi mengatur (regulerend) pajak berfungsi sebagai alat penggerak masyarakat dalam sarana perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. oleh karena itu, fungsi mengatur ini menggunakan pajak untuk mendorong dan mengendalikan kegiatan masyarakat agar sejalan dengan rencana dan keinginan pemerintah, walaupun kadangkala dari sisi penerimaan (fungsi anggaran) justru tidak menguntungkan.
            Dengan adanya fungsi regulerend Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Melalui fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang letaknya di luar bidang keuangan dan lebih ditujukan pada sektor swasta. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
Konon kabarnya sejarah peradaban umat manusia, sangat kental dengan masalah perpajakan. Pajak tercipta karena kebutuhan manusia untuk hidup berkelompok karena ketergantungan satu sama lain. Cara hidup seperti ini akan menciptakan negara, oleh karena itu dibutuhkan sumber-sumber untuk membiayai pengeluaran bersama. Begitu juga yang dialami Bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang untuk pemungutan pajak dalam hal memenuhi kebutuhan negara, memerlukan peraturan perundang-undangan dalam perpajakannya
Sistem pemungutan pajak di Indonesia tentunya harus disesuaikan dengan kepribadian dan martabat negara. Perubahan periode kepemimpinan merupakan salah satu faktor vital dalam perubahan sistem perpajakan. Regulasi tentang perpajakan di Indonesia terus berkembang dari masa orde lama sampai sekarang. Makalah ini membahas mengenai perkembangan perpajakan di Indonesia dari  masa orde lama sampai sekarang.
BAB II
ISI

Dalam membahas tentang sistem perpajakan di Indonesia, hal terpenting yang tidak boleh dilupakan adalah telah munculnya sistem perpajakan walaupun pada tingkat yang sederhana sejak masa kerajaan tertua di Indonesia. Dalam perkembangannya, sejarah perubahan sistem perpajakan selalu berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menyertainya. Berikut akan dipaparkan perkembangan sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia dari masa Orde Lama sampai sekarang.

2.1    Masa Orde Lama (setelah kemerdekaan)
Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan pajak penjualan(PPn) 1951 Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “Landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “Landrente”. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964.
Pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1970-an, pendapatan negara lebih banyak disokong sektor tambang minyak dan gas bumi (migas). Hingga pada masa orde lamabeberapa perundang-undangan pajak masih didasarkan atas peraturan pemerintahan Belanda(misalnya: ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944) seperti Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan, Pajak penjualan dan beberapa pajak yang lain yang relatif kecil jumlahnya. Semua perundang-undang pajak ini akhirnya diganti dengan undang-undang yang baru yang lebih memenuhi kebutuhan  perkembangan ekonomi dan keuangan maupun penyelenggaraan pemerintahan yang berubah.
Kondisi ini kemudian mengakibatkan apa yang oleh banyak pengamat disebut trauma perpajakan yang kemunculannya sudah jauh dari pada masa kolonial, yakni sistem perpajakan yang sangat eksploitatif dan menindas rakyat.
Setelah merdeka, maka sudah seharusnyalah Indonesia mengatur dan menentukan kepentingan-kepentingannya sendiri. Seperti halnya negara-negara yang baru merdeka, maka pemerintah RI lebih memfokuskan perhatiannya terutama dalam mempertahankan kemerdekaan dan usaha yang bersifat konsolidasi nasional. Meskipun pada akhirnya, disadari bahwa untuk mencapai sistem perpajakan yang cocok bagi Indonesia merdeka perlu diadakan tambahan, perbaikan bahkan perubahan Undang-Undang Perpajakan yang sebagian besaranya merupakan warisan kolonial.
Seiring berjalan waktu, perubahan sistem pajak sebelum reformasi tersebut merasa perlu untuk diperbaiki, atau diperbaharui demi menemukan sistem perpajakan yang sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945.

2.2    Masa Orde Baru (1960-1982)
Pada tahun 1960 dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia, ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967. dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai 1 November 1965.
Pada awal masa Orde Baru (1960-an), pemerintah melancarkan pembenahan sistem fiskal, terutama dalam sistem perpajakannya. Para pengamat pembangunan di Indonesia yang sinis dan kritis mengatakan bahwa pada masa Orde Baru dalam kebijakannya untuk menutup defisit anggaran bagi pengeluaran yang meningkat perlu diimbangi dengan penerimaan yang cukup besar terutama ditekankan pada sektor pajak.
Berpijak pada Ketetapan MPRS No. 23 Tahun 1966, pemerintah Orde Baru pun berusaha merealisasikan kemajuan pembangunan dengan meningkatkan pemasukan atau penghasilan melalui Pembaruan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan dengan mengubah sistem perpajakan, yakni perbaikan administrasi perpajakan dengan disertai usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan pajak, perubahan tingkatan pajak, dan perubahan struktur pajak.
Usaha pembaruan sistem perpajakan mulai tampak nyata, yaitu dengan pengiriman oleh Menteri Keuangan Frans Seda pada tanggal 17 Juli 1969 kepada Pimpinan DPR Gotong Royong di Jakarta perihal Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan da Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak. Pada akhirnya, diadakan perubahan atas perundang-undangan pajak yang agak mendasar pada tahun 1967 sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 danPeraturan Pemerintah No. 11 perubahan Tahun 1967 mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, yang secara umum dikenal dengan sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain).
Konsep MPS dan MPO merupakan pembaruan sistem pemungutan pajak dimana kalau sebelumnya kegiatan dalam penghitungan dan pemungutan pajak sebagian besar dilaksanakan sepihak oleh aparat pajak, maka dalam sistem yang baru mengalami perubahan yaitu lebih banyak dilakukan wajib pajak sendiri.
Sistem pemungutan lama telah mengalami kegagalan dan karenanya diperkenalkan tata cara pemungutan pajak MPS dan MPO dimana peran utama bukan dari aparat pajak, melainkan dari wajib pajak itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan tata cara MPS dan MPO adalah :
a.              MPS adalah tata cara dimana wajib pajak menghitung dan membayar sendiri jumlah pajak-pajak; pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang menurut Undang-Undang Pajak tersebut yang terhutang dalam satu masa pajak.
b.             Dalam rangka pelaksanaan tata cara MPO tersebut di atas, maka dapat ditunjukkan orang atau badan lain yang melakukan perhitungan pajak yang bersangkutan dalam satu masa pajak.
Pengenalan sistem MPS dan MPO ini, merupakan suatu bentuk self assesment dan semi assesment seperti yang telah diterapkan di AS, Jepang, dan negara lain dimana wajib pajak diberi kewajiban untuk:
-                 Menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan ataupun laba.
-                 Menghitung sendiri besarnya pajak pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang terhutang serta menyerahkan kepada kas negara.
Adanya perubahan tersebut masih dihadapkan pada masalah pengetahuan dan disiplin wajib pajak yang ada, karena sistem tersebut dipengaruhi pengetahuan dan disiplin wajib pajak.  Beberapa fenomena tentang munculnya sistem MPS dan MPO dengan sekaligus telah memberi gambaran bahwa pada masa Orde Baru, kondisi ekonomi masyarakat telah membutuhkan suasana baru dalam perpajakan. Setelah mengalami pembahasan yang memakan cukup waktu, akhirnya DPR Gotong Royong pada tanggal 26 Agustus 1967 mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 dengan memberlakukan tata cara MPS dan MPO. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 yang ditetapkan 19 September 1967 merupakan peraturan pelaksanaannya.

2.3    Masa Reformasi (1983-sekarang)
Usaha pemerintah RI dalam rangka pembaruan sistem perpajakan menjadi sistem perpajakan yang sesuai dengan hakikat dan martabat bangsa ternyata tidak berhenti begitu saja.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 yang bertujuan agar diperoleh efektifitas yang lebih maksimal malah tidak memberikan kesesuaian pencapaian sasaran pembinaan wajib pajak dan aparat pajak itu sendiri sesuai yang diharapkan. Pada dasarnya, tata cara pemungutan pajak telah diusahakan menggunakan pola modern, namun acuan perundang-undangannya masih mempergunakan undang-undang warisan kolonial. Itulah suatu kenyataan yang bertolak belakang dan perlu dibenahi lagi. Sepanjang sistem perpajakan dilandasi oleh ketentuan kolonial maka belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana penunjang ciat-cita bangsa dan pembangunan nasional yang dilaksanakan sekarang ini. Kondisi yang kurang kondusif dalam sistem perpajakan, seperti halnya pemberlakuan tarif pajak yang beragam, prosedur perpajakan yang berbeli-belit pun semakin menunjukkan bahwa sistem perpajakan tersebut masih berada di bawah standar sistem perpajakan kolonial.
Dalam tempo dua tahun, antara Desember 1983 sampai dengan Desember 1985, Pemerintah RI pun mampu menggantikan secara total sistem perpajakan kolonial menjadi PSPN (Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional). PSPN ini merupakan tindak lanjut penyempurnaan dari sistem MPS dan MPO yang telah ditetapkan pada Tahun 1967 sebelumnya. PSPN yang merupakan Undang-Undang Pajak baru yang diterapkan ini mencakup PSPN tahap I, meliputi Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang KUP, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang PPh, Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang PPN. Dan PSPN tahap II, meliputi Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang PBB, dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang BBM.
Perubahan mendasar yang telah dilakukan dalam PSPN antara lain :
1.                              Pemungutan pajak lama yang telah ditekankan pada kewajiban yang dipaksakan telah diganti dengan pola pemungutan sebagai bentuk perwujudan peran serta warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai pembangunan.
2.                              Sistem pemungutan pajak official assesment yang lebih mengandalkan aparat pajak dalam proses administrasi pajak berubah menjadi self assesment yang merupakan sistem dimana masyarakat sebagai subjek pajak berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan utang pajak serta mempertanggungjawabkannya.
3.                              Sistem perpajakan lama memberikan fasilitas kepada sektor tertentu, selanjutnya dalam PSPN maka fasilitas diberikan secara menyeluruh dan merata melalui penurunan tarif, penyederhanaan prosedur serta peningkatan kepastian hukum dan pelayanan.  
Maksud utama PSPN adalah dalam rangka peningkatan jumlah wajib pajak. Prasarana pendukung PSPN telah dilakukan melalui usaha penerangan, pelayanan, pemeriksaan, dan sistem informasi serta law enforcement yang dilakukan secara berkesinambungan. Reformasi perpajakan tersebut juga telah mendasari perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak yang sudah tidak mampu menampung tugas dalam organisasi yang ada. Usaha yang dilakukan adalah bekerja sama dengan departemen dan lembaga pemerintahan lain untuk menggali perluasan NPWP (Nomor Pembayaran Wajib Pajak) yang baru. Petunjuk awal dari keberhasilan PSPN mulai tampak pada tahun 1985, yaitu dengan meningkatnya jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan secara nasional. Namun demikian, kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut masih menunjukkan hal-hal yang belum mencapai sasaran yang diharapkan, sebagai akibat belum adanya koordinasi antar departemen. Sedangkan Inspeksi Pajak masih membatasi diri dalam bertindak memaksa wajib pajak untuk memiliki NPWP. Sistem perpajakan baru yang meliputi undang-undang, mekanisme dan aparat serta faktor ekonomi, sosial dan politik yang mendukung, minimal telah menjadi faktor penentu keberhasilan PSPN dalam bentuk kenaikan jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan yang pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan penerimaan negara dari sektor pajak.
Dengan dikeluarkannya seperangkat undang-undang perpajakan baru sebagai jawaban atas kebutuhan sistem perpajakan modern yang sesuai falsafah Indonesia, maka tindak lanjut yang berkenaan dengan pelaksanaan menuju keberhasilan pada masa akan datang adalah masalah pemasyarakatan undang-undang tersebut sebagai bagian dari hukum publik, sehingga masyarakat sebagai basis pajak tidak buta terhadap dasar hukum sistem perpajakan yang ada. Untuk itu, sistem penginformasian perlu senantiasa terus diupayakan melalui sarana media massa yang langsung menjangkau sampai di kalangan masyarakat wajib pajak yang perlu dihargai hak dan kewajibannya. Kampanye yang mendorong kesadaran masyarakat untuk secara sadar membayar kewajiban pajaknya perlu diupayakan dan didukung oleh peningkatan kualitas aparat pajak sebagai ujung tombak Direktorat Jendral Pajak dalam melayani masyarakat.
Sistem perpajakan yang berkembang di Indonesia saat ini yaitu Sistem Self-assessmentmerupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kriteria Self Assesment Sistem antara lain :
1.                  Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada WP sendiri.
2.                  Wajib Pajak Aktif mulai dari menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3.                  Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
Sebaliknya pada sistem official-assessment besarnya pajak yang seharusnya terutang ditetapkan sepenuhnya oleh Fiskus (aparat pajak). Kriteria dari Official Assesment Sistemadalah :
1.                  Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus.
2.                  Wajib Pajak bersifat pasif.
3.                  Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Sistem Self assessment   akan berhasil apabila memenuhi beberapa syarat yang diharapkan ada dalam diri Wajib Pajak yaitu:
1.            Kesadaran Wajib Pajak (tax consciousness)
2.            Kejujuran Wajib Pajak
3.            Kemauan atau hasrat untuk membayar pajak (tax mindness)
4.            Kedisiplinan Wajib Pajak (tax discipline) dalam melaksanakan peraturan perpajakan.
Dalam sistem ini terdapat pemberian kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk melakukan self assessment memberikan konsekuaensi yang berat bagi Wajib Pajak, artinya jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban-kewajiban Perpajakan yang dipikul kepadanya, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat. Oleh karena itu Sistem self assessment mewajibkan wajib pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Sistem ini juga dapat memberikan biaya tambahan (dalam arti luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan mengorbankan lebih banyak waktu dan usaha serta biaya untuk membayar jasa konsultan pajak. Selain itu self assessment menunjukkan proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan menurun pula.
Di lain pihak ssstem ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk memberitahukan (sekaligus memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas pemerintahan lainnya. Selain itu sistem self assessmentakan mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas sistem perpajakan yang berlaku terhadapnya.
Di dalam melaksanakan sistem self-assessment, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan seperti memberikan penyuluhan perpajakan (tax dissessmination), pelayanan perpajakan (tax service), dan pengawasan perpajakan (law enforcement). Hal tersebut harus dapat dilaksanakan secara optimal agar tercipta kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan haknya di bidang perpajakan.
Sistem self assessment bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Namun Sistem ini juga membuka adanya kemungkinan penyimpangan dari Wajib Pajak untuk tidak melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar. Direktorat Jendral pajak sebagai instansi yang diberi wewenang untuk menerapkan kebijakan dalam rangka mengawasi dan menjaga penerimaan pajak wajib untuk melakukan berbagai tindakan agar Sistem self assessment berjalan dengan baik.
Dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan sistem self assessment, Dirjen Pajak melakukan dua fungsi utama :
1.                      Fungsi pemeriksaaan (audit function) yang ditujukan untuk memantau dan mengawasi kepatuhan Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2.                      Fungsi pemungutan atau penagihan (colection function) yang ditujukan unuk meneliti dan mencatat pembayaran pajak, meneliti bahwa semua pelaporan Wajib Pajak telah diikuti dengan pelunasan pajak yang terutang, baik sebagian maupun keseluruhan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Untuk meyakinkan sistem self-assessment dilaksanakan dengan baik, perlu dilakukan pengawasan (Law enforcement) dalam pelaksanaannya. Peran pengawasan ini dilakukan oleh Fiskus dalam bentuk pemeriksaan (tax audit) dengan maksud menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, kemudian penyidikan pajak (tax investigation) dan terakhir berupa penagihan pajak (tax collection).








BAB III
KESIMPULAN

Sistem pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan ekonomi. Pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan negara yang menyumbangpersentase terbesar dibandingkan dengan sektor – sektor pendapatan lainnya. Oleh karena itu, keberhasilan suatu negara dalam mengumpulkan pajak dari warga negaranya akan menimbulkan stabilitas ekonomi dari negara yang bersangkutan.
Sistem perpajakan di Indonesia pada masa Orde Lama sebagian besar masih mewarisi sistem  perpajakan dari masa kolonial Belanda. Kemudian pada masa Orde Baru dikenal Sistem yang disebut sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain). Hingga saat ini menggunakan Self Assessment Sistem. Sistem Self-assessmentmerupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Supaya pelayanan pajak semakin baik dan profesional maka peningkatan profesionalisme dan pengawasan yang ketat harus dilakukan  karena sistem perilaku birokrasi selalu rentan akan perubahan. Sepanjang ada transaransi dan kontrol yang ketat, parameternya sudah jelas. Kebijakan 'menanam' mata-mata internal atau disebut whistleblower dari kalangan pajak sendiri. Dengan begitu reformasi pajak dapat terlaksana dengan baik.



DAFTAR PUSTAKA
Aryanti Arif, Irma. “Reformasi Sistem Perpajakan”. 9 Maret 2015.http://ariyanti-ariyanti.blogspot.com/2010/12/reformasi-sistem-perpajakan.html
Anonim. “Sistem Perpajakan di Indonesia”. 9 Maret 2015.https://chimcute.wordpress.com/2009/02/18/sistem-perpajakan-di-indonesia/
Fitriani, Eka.”Sejarah Perpajakan di Indonesia”.9 Maret 2015.http://ekafitrianiramatax12.blogspot.com/p/sejarah-perpajakan-di-indonesia.html
Rosada, Dada.”Reformasi pajak harus sinergi dengan reformasi birokrasi”. 9 Maret 2015.http://www.pajak.go.id/content/dada-rosada-reformasi-pajak-harus-sinergi-dengan-reformasi-birokrasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Marger & Akuisisi

SEJARAH REVOLUSI INDUSTRI DAN REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Noun Clause